Barayanews.co.id – Penolakan terhadap rencana Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor menerapkan obligasi melalui Peraturan Daerah (Perda) tentang Obligasi Daerah serta Dana Cadangan, kembali menuai penolakan.
Wakil Ketua Komisi II DPRD, Rizal Utami menilai bahwa pemerintah tidak perlu berhutang dengan alasan percepatan pembangunan. Pasalnya, langkah tersebut dinilai justru akan semakin memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
“Tidak perlulah berutang dengan alasan percepatan pembangunan. Karena memang APBD kita belum kuat. Jangan lagi menambah beban,” ujar Rizal via telepon.
Menurut dia, kebijakan obligasi justru akan menimbulkan konflik di kemudian hari, lantaran kepala daerah yang baru harus ‘cuci piring’ dari kebijakan tersebut.
“Nggak perlu karena hal itu akan membebankan kepala daerah karena harus menanggung bunga,” katanya.
Rizal menuturkan bahwa dalam percepatan pembangunan pemerintah tak perlu menerbitkan surat utang atau obligasi. Sebab, yang terpenting adalah perencanaan pembangunan yang matang dan tepat sasaran. Sehingga potensi anggaran dapat dimaksimalkan.
Selain itu, kata dia, obligasi belum diperlukan lantaran sampai saat ini potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bogor masih sangat minim. Sebagai dari akibat tidak maksimalnya penggalian pajak oleh Badan Pendapatan Daerah (Bapenda).
“Saat kami rapat membahas sektor itu saja sepertinya Bapenda masih keteter dalam mengeksplor potensi pajak,” katanya.
Atas dasar itu, Rizal lebih menyarankan agar Pemkot Bogor melalui Bapenda terus mengeluarkan inovasi-inovasi baru agar dapat menggali sektor perpajakan dengan maksimal.
“Jangan paksakan obligasi. Kalau dipaksakan akibatnya nanti bisa besar pasak daripada tiang. Kami tak setuju bila pemerintah mesti berutang,” ungkapnya.
Sementara itu, berdasarkan informasi Badan Musyawarah (Banmus) DPRD Kota Bogor pada Rabu (11/12/2019), telah menjadwalkan bahwa sosialisasi obligasi daerah oleh Pemkot Bogor kepada dewan akan dijadwalkan pada Januari 2020 mendatang.
Kendati demikian, Wakil Ketua III DPRD Eka Wardhana mengaku belum mengetahui soal adanya rencana sosialisasi tersebut. Kendati demikian, ia menilai bahwa pihaknya lebih menginginkan agar pemerintah membuat kebijakan yang lebih prorakyat dengan memaksimalkan anggaran untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat daripada harus menerbitkan surat utang.
“Sebab program prorakyat lebih bisa dirasakan masyarakat, misalnya meningkatkan usaha kecil,” katanya.
Selain itu, kata Eka, apabila dilihat dari APBD Kota Bogor yang hanya Rp2,5 triliun, nominal tersebut jelas dirasa belum cukup kuat untuk menanggung beban bunga obligasi.
“Keuangan kita belum kuat. Untuk memajukan perekonomian, tak melulu mesti mengedepankan infrastruktur,” tukasnya.