BOGOR – Southeast Asian Regional Center for Tropical Biology (SEAMEO Biotrop), FAO Indonesia bersama Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyelenggarakan National Validation Workshop Strengthening Capacities for Prevention, Control and Management of Invasive Alien Species (SMIAS) in Indonesia pada awal Februari 2022 lalu.
Hasilnya proyek SMIAS ini dianggap sangat penting untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati di Indonesia, selain itu SMIAS ini bertujuan untuk memperkuat komitmen multistakeholder dalam mencari solusi terbaik dalam mengatasi risiko dan dampak yang timbul dari kejadian Invasive Alien Species (IAS) di Indonesia.
Diketahui, kegiatan online workshop dihadiri dari FAO Indonesia, FAO Representative Asia Pacific, Kementerian dan Lembaga Penelitian, Pemerintah Dearah, Perguruan Tinggi, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, serta perwakilan masyarakat lokal dari kedua taman nasional sebanyak 100 peserta.
Perwakilan FAO Indonesia, Dr. Ageng Setiawan Herianto menyatakan, bahwa dokumen proyek SMIAS yang ditetapkan menekankan esensi dari kolaborasi antar lembaga yang kuat dalam mengelola IAS, termasuk keterlibatan masyarakat lokal.
“Maka itu, pentingnya menetapkan program yang jelas untuk mendapatkan dukungan pembiayaan bersama dari lembaga nasional dan internasional,” ungkap Ageng dalam keterangan tertulis pada Selasa (15/3/2022) sore.
Sementara itu, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetika pada KLHK, Indra Exploitasia menyampaikan, beberapa hal penting untuk mengevaluasi dokumen proyek SMIAS berdasarkan pencegahan, pengendalian dan pengelolaan IAS di Indonesia.
“Saya tekankan perlunya mempersempit gap regulasi dengan mensinergikan regulasi dan kebijakan yang ada di Indonesia, khususnya dalam pencegahan, pengendalian dan penanganan IAS di Indonesia,” terangnya.
Indra menambahkan, ada tiga aspek penting dalam mempersempit kesenjangan regulasi, yang pertama meningkatkan sinergi antar regulasi untuk mencapai titik awal yang kokoh dalam pengendalian dan pengelolaan IAS di Indonesia. Memfokuskan Proyek SMIAS pada spesies tumbuhan asing invasif tanpa mengabaikan pengendalian dan pengelolaan spesies hewan asing invasif.
“Hal terakhir mencari manfaat inovatif IAS (tumbuhan dan hewan) bagi masyarakat,” tambahnya.
Ketua Tim Proyek SMIAS dari CABI, Dr Arne Witt mempresentasikan, laporan kemajuannya tentang pembentukan Dokumen Proyek SMIAS, dirinya juga menyampaikan bahwa Proyek SMIAS terdiri dari beberapa komponen, seperti kebijakan, peningkatan kapasitas, isu gender dan masyarakat lokal. Dirinya juga menjelaskan, IAS merupakan ancaman serius bagi ekosistem dan habitat.
“Berbagai kendala dan dampak secara langsung maupun tidak langsung dihadapi oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, sangat penting untuk meningkatkan kerjasama antar lembaga dan antar pemerintah dalam pengendalian dan pengelolaan IAS di Indonesia. Keterbatasan dana dan kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni juga menjadi kendala serius,” jelasnya.
Dr Arne menyatakan, bahwa aspek terpenting dari Proyek SMIAS adalah menyelamatkan keanekaragaman hayati dan ekonomi di Indonesia. Oleh karena itu, dirinya membagikan tiga komponen Proyek SMIAS, pertama penguatan kerangka kebijakan, kelembagaan dan pendanaan untuk pengelolaan IAS di Indonesia. Kedua mendemonstrasikan pengelolaan IAS di dua Taman Nasional di Indonesia yaitu Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (Pulau Jawa) dan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (Pulau Sulawesi).
“Ketiga meningkatkan kesadaran masyarakat lokal di sekitar kedua taman nasional melalui pengelolaan bagaimana menyesuaikan diri dengan keadaan. Keluaran, dari lokakarya ini difokuskan pada penyusunan beberapa skema pembiayaan bersama antar lembaga dan antar pemerintah serta kerjasama antar pemangku kepentingan,” pungkasnya.