Barayanews.co.id – Perombakan susunan pejabat di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor beberapa waktu lalu menyisakan polemik. Sebab dasar aturan rotasi mutasi terindikasi cacat hukum.
Sebagaimana perombakan tersebut rupanya diketahui masih mengacu pada Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 17 tahun 2019, seperti tertuang dalam Keputusan Wali Kota Bogor nomor 800/kep.130-bpksdm/2021 tentang Pengangkatan dan Alih Tugas Dari dan Dalam Jabatan Administrator dan Jabatan Pengawas di Lingkungan Pemkot Bogor.
Padahal perwali tersebut telah dua kali direvisi menjadi Perwali 50 dan 51 dn perwali 63 tahun 2020. Hal itu dikatakan Anggota DPRD Kota Bogor, Atty Somaddikarya, Selasa (02/03/2021).
Menurutnya, syarat kepemilikan Sertifikasi Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) pada Perwali no 17 tahun 2019 Pasal 9 Ayat (1) huruf F dn pasal 10 hurup G berlaku untuk eselon IIIa dan IVa harus memiliki SPBJ.
“Sejumlah pejabat yang seharusnya punya kesempatan promosi akan terhambat, rotasi dan promosi yang dilakukan beberapa waktu lalu harus dibatalkan jika yang dapat promosi eselon IIIa dn IVa tidak memiliki SPBJ sesuai Perwali 17 tahun 2019,” ujarnya
“Kalau disebut perwali 50 dan 51 tahun 2020 itu belum dipakai selama pandemi, lalu kenapa yang dipakai perwali nomor 17 yang jelas-jelas sudah direvisi masih jadi dasar? Lagipula kalau perwali itu tidak digunakan dengan alasan pandemi, harusnya ada regulasi yang menggugurkan perwali tersebut, sebuah regulasi tidak bs disampaikan secara lisan. Nah, ini bagaimana jika regulasi yang buat tapi dilanggar oleh orang yang sama, dugaan saya pada saat membuat Perwali dn membuat SK (Surat Keputusan) sebagai Produk regulasinya tidak melibatkan bagian hukum yang ada di Pemerintah Kota Bogor,” ketusnya.
Buatnya, ketidakjelasan acuan aturan dalam rotasi mutasi ini memunculkan polemik karena tidak sedikit ASN yang terdampak. Mereka yang seharusnya bisa promosi malah terjegal aturan sendiri.
Sementara itu, Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik Yusfitriadi bahkan menegaskan bahwa jika proses dalam pemerintahan, termasuk rotasi mutasi pegawai tidak berlandaskan regulasi yang ada, maka kebijakan tersebut bisa disebut cacat hukum.
“Apapun alasannya, jika tidak berlandaskan regulasi yang masih berlaku keputusan tersebut cacat hukum,” ucapnya.
Menurutnya, minimal ada beberapa prinsip yang harus menjadi dasar atas rotasi, mutasi dan pengangkatan ASN di lingkungan pemerintah manapun. Diantaranya undang-undang yang operasionalnya melalui peraturan. Mutlak regulasi dan ketentuan yang masih berlaku menjadi landasan utama.
“Sehingga langkah Bima Arya dalam merotasi ASN dengan tidak mengindahkan regulasi terlebih regulasi tersebut, merupakan peraturan yang dibuatnya sendiri,menjadi sangat ambigu dan wajar ketika menuai polemik. Sehingga apa yang menjadi landasan walkot merotasi ASN kalau bukan berlandaskan regulasi,” tegasnya.
Menurutnya, paling harus menjadikan landasan utama adalah regulasi. Karena ketika regulasi ditegakan maka akan menjawab semua pertanyaan publik. Ia pun berharap wali kota dan seluruh ASN yang ada di lingkungan kota bogor diharapkan menjadikan regulasi entah itu undang-undang, peraturan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah menjadi landasan utama dalam mengambil sebuah kebujakan dan keputusan.
“Iya pasti akan berdampak tidak baik, bahkan akan mengganggu koheaivitas kolektif ASN dan mengancam keutuhan di tubuh ASN itu sendiri,” tuntasnya.