Barayanews.co.id – Polemik rotasi mutasi yang dilakukan Wali Kota Bogor Bima Arya terhadap pejabat di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor beberapa waktu lalu, rupanya berbuntut panjang.
Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bogor memanggil kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM), Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) serta Bagian Hukum dan HAM terkait kebijakan yang diambil dalam proses perombakan susunan pejabat Pemkot Bogor, Rabu (3/3/2021).
Para legislator ingin mengetahui kebijakan terkait penilaian kinerja dan mekanisme penempatan tugas/jabatan (Rotasi/Mutasi) Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor, lantaran belakangan jadi polemik mengenai dasar hukum yang digunakan.
Wakil Ketua DPRD Kota Bogor yang juga Koordinator Komisi I, Jenal Mutaqin mengatakan, dari hasil rapat kerja, dewan mengambil keputusan bahwa komisi I akan mengirimkan surat kepada pimpinan DPRD sebab telah ditemukan satu keputusan yang dirasa secara hukum ada celah yang terlewati. Yakni Peraturan Wali Kota (Perwali) kadaluarsa yang dilampirkan kembali dalam Surat Keputusan (SK) Nomor 800/Kep.130-BKPSDM/2021 tentang Pengangkatan dan Alih Tugas dari dan dalam Jabatan Administrator dan Jabatan Pengawas di Lingkungan Pemerintah Daerah Kota Bogor. Menurutnya, kesalahan itu pun diakui oleh Pemkot Bogor dalam pemaparan saat rapat kerja digelar.
“Mereka mengakui kesalahan dan mungkin ada kurang koordinasi antara Baperjakat yang hari ini ada, yang pasti faktanya perwali yang sudah direvisi (Perwali nomor 17 tahun 2019, red) masih dimasukan lagi,” katanya.
Kemudian, Komisi I akan mengirimkan surat berkaitan dengan syarat sertifikasi Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) adalah mutlak untuk pejabat fungsional dan bukan untuk administrator. Yaitu Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan bukan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
“Jadi dalam rapat ini, tindak lanjutnya akan dibawa ke Banmus (Badan Musyawarah) DPRD, apakah nantinya anggota banmus akan memutuskan untuk bersurat saja guna menyempurnakan produk hukum mereka. Atau DPRD Menggunakan hak-hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, untuk mempertanyakan kebijakan yang strategis dan berdampak luas,” tandasnya.
Dalam aturan Tata Tertib (Tatib), kata dia, termasuk di Peraturan Pemerintah (PP) nomor 18 tahun 2018, ada Hak Interpelasi, Hak Angket dan Hak Menyatakan Pendapat. Sesuai korelasi dan substansi persoalan ini, bisa digunakan dua hak, yakni Hak Interpelasi atau Hak Angket.
“Untuk masalah ini sesuai substansi dan korelasi kemungkinan yang dilakukan hak interpelasi dengan bertanya atau dengan hak angket langsung pada judgement bahwa kami tidak setuju berbenturan dengan peraturan yang lebih tinggi. Itupun diputuskan dalam rapat lanjutan keputusan DPRD, melalui Banmus,” paparnya.
Namun, sambung Jenal, untuk menjaga sinergitas ia berharap kalaupun DPRD melayangkan surat kirim ke pemerintah daerah melalui Wali Kota dan jajaran dibawahnya, itu merupakan pukulan keras dan peringatan bahwa dalam menerbitkan produk hukum harus komperhensif, dari sisi regulasi hukum dan prinsip serta menyesuaikan dengan kondisi yang ada jajaran Pemkot Bogor.
“Jadi kritik yang disampaikan bukan subjektif, tapi konstruktif sifatnya membangun dan mengingatnya jadi tidak ada upaya atau kecerobohan dari sisi pembuatan produk hukum daerah, sebab perwali ini merupakan produk hukum yang diakui oleh undang-undang,” ucap Jenal.
Hal itu pun mendapat dukungan dari Anggota Komisi I DPRD Kota Bogor, Atty Somaddikarya. Menurutnya, jika aturan yang ada tetap dipaksakan, Fraksi PDI Perjuangan akan menggunakan Hak Interpelasi atau Hak Angket untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
“Kasihan ke wali kota kalau cara kerjanya seperti ini. Coba pikirkan, wali kota kita ini akan maju ke Pilgub. Kalau disini saja, urusan yang seperti ini saja melukai, bagaimana jenjang karir wali kota kedepan? Kasihan dalam urusan ini dipojokkan,” tegas Atty.
Ia menegaskan permasalahan ini harus segera diperbaiki sebelum pihaknya menggunakan hak-nya sebagai anggota DPRD.
“Tapi saya nggak tahu siapa oknum didalamnya, menjebak atau terjebak? dilibatkan atau terlibat dalam urusan konspirasi seperti ini,” ketusnya.
Di tempat yang sama, Kepala Bidang Formasi Data dan Kepangkatan pada BKPSDM Kota Bogor, Elyis Sontikasyah menjelaskan, pihaknya mendatangi DPRD karena diminta untuk ekspose terkait jenjang karir dan proses rotasi, mutasi dan promosi yang diterapkan di Pemkot Bogor.
Ia mengatakan dalam Perwali nomor 17 tahun 2019, ada perubahan pada SK Kepegawaian sebab mengatur kepegawaian secara komprehensif, tidak hanya pengangkatan, termasuk pensiun dan lainnya.
Menurutnya, dalam perwali tersebut ada klausul akan memperbaiki kekeliruan bila terjadi kekurangan.
“Produk hukum konsideran sesuai UU 12 tahun 2011 sebagai dasar, itu yang paling penting, yang mengamanatkan langsung sebagaimana diatur dalam UU ASN bahwa pengangkatan jabatan struktural ditetapkan oleh PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) wali kota sebagai pejabat pembina kepegawaian daerah. Jadi jabatan tidak ada yang keliru, tidak ada yang salah. Sebagaimana telah diubah beberapa kali, kini ada aturan Perwali nomor 10 tahun 2021 tentang perubahan ketiga atas Perwali nomor 17 tahun 2019,” tandasnya.
Namun, dalam rapat kerja tersebut pihak BPKSDM tidak dapat melampirkan bukti fisik Perwali nomor 10 tahun 2021 sebagai bentuk perubahan ketiga dari Perwali nomor 17 tahun 2019.