BOGOR – Kabag Hukum dan HAM Setda Kota Bogor, Alma Wiranta angkat suara terkait polemik status jembatan Otista Kota Bogor yang sudah berusia 103 tahun dan dipertanyakan apakah masuk sebagai cagar budaya atau tidak.
Alma mengatakan, bahwa Jembatan Otista tidak ditetapkan sebagai Cagar Budaya.
“Jembatan Otista tidak ditemukan dalam cagar budaya Kota Bogor. Setidaknya dalam menentukan apakah suatu obyek masuk kategori cagar budaya, telah melalui kajian dan usulan berdasarkan syarat-syarat sebagaimana UU Nomor 11 tahun 2010 di pasal 5,” tegas Alma, Rabu (10/5/2023).
Alma menjelaskan, ini berdasarkan fakta dan data serta bisa dicrosscek kembali.”Ya, itu berdasarkan regulasi yang dikeluarkan Pemkot Bogor, tidak ditetapkannya Jembatan Otista sebagai cagar budaya,” tandasnya.
Sementara itu, Ahli Cagar Budaya dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Bogor yang juga menjadi bagian dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Taufik Hasunna membeberkan, status objek jembatan Otista Kota Bogor yang saat ini sedang dilakukan pembongkaran.
Status objek jembatan Otista Kota Bogor secara informal bisa dikatakan sebagai cagar budaya. Namun, secara formal lewat payung hukum dan Undang-undang, Jembatan Otista Kota Bogor ini belum bisa dikatakan sebagai cagar budaya.
“Secara formal kalau dilihat dari UU No 11 Tahun 2010 Jembatan Otista ini belum menjadi cagar budaya. Namun, dilihat dari umur yakni 103 tahun, informalnya orang bisa menilai bahwa ini cagar budaya,” papar Taufik kepada wartawan.
Taufik menerangkan, memang dalan UU No 11 Tahun 2010 ada beberapa pasal yang menyebutkan, bahwa untuk menentukan suatu objek sebagai cagar budaya harus melalui proses yang panjang. Mulai dari administrasi, sampai verifikasi dari TACB untuk menentuka bahwa objek itu cagar budaya atau bukan.
Dimana, dalam pasalnya itu objek yang diduga merupakan cagar budaya harus melalui verifikasi oleh TACB. TACB ini bisa memilah mana cagar budaya tingkat kota, provinsi, dan nasional.
“Namun, dalam UU tersebut, terdapat kelemahan terkait penentuan suatu objek menjadi cagar budaya. Dalan pasal tertentu, pasal itu hanya menentukan sekitar lima dalam setahun objek yang diduga menjadi cagar budaya. Kelemahan UU ini adalah peraturan pelaksanaannya terbit 2021. Walaupun UU nya terbit 2010. Jadi, banyak objek terbengkalai. Sekarang satu tahun aja kan paling lima objek yang bisa jadi cagar budaya. Sedangkan yang diduga objek cagar budayanya kan banyak. Ada ratusan. Berapa tahun akan beres? Kalau setahun lima,” papar Taufik.
Taufik membeberkan, sementara itu soal Peraturan Wali Kota (Perwali) yang menyebutkan, bahwa Jembatan Otista ini sudah masuk ke jaringan Kota Pusaka membuatkondisi Jembatan Otista ini unik. Disamping secara formal belum disahkan sebagai cagar budaya, terutama kalau dilihat dari UU. Tapi secara Perwali itu sudah. Dalam tingkatan Kota Bogor, jembatan ini, sudah bisa disebut sebagai cagar budaya karena dalam Perwali tersebut sudah jelas disebutkan.
“Perihal pembongkaran, kata Taufik, hal itu pun memicu polemik. Pembongkaran itu, saya rasa akan menghilangkan jati diri asli jembatan Otista Kota Bogor yang memang secara informal dan secara tingkat Kota Bogor sah disebut sebagai cagar budaya,” bebernya.
Meski begitu, Taufik menjelaskan, peran Jembatan Otista Kota Bogor ini memang sangat strategis dan vital. Secara kondisi kemacetan yang kerap terjadi, jembatan ini, jika tidak dilebarkan akan tetap menjadi titik kemacetan yang parah.
“Satu sisi bahwa Jembatan Otista itu adalah wilayah yang vital dan strategis. Memang kalau tidak diperbaiki atau dibangun akan menimbulkan dampak kemacetan yang panjang,” pungkasnya.