Sampah yang dihasilkan di Kota Bogor diperhitungkan mencapai 600 ton per hari. Jumlah itu terdiri dari sampah organik dan bukan organik. Dalam jumlah cukup banyak, diantara sampah bukan organik, adalah sampah plastik. Inilah jenis sampah yang terus menimbulkan problema, karena plastik adalah material yang sulit ditangani ketika sudah menjadi sampah.
Untuk menekan terus bertambahnya sampah plastik, pada tahun 2018 Pemerintah Kota Bogor menerbitkan Peraturan Wali Kota nomor 61, tentang pengurangan penggunaan kantong plastik. Sejak itu seluruh swalayan dalam skala besar dan kecil tidak lagi memberikan kantong plastik kepada mereka yang berbelanja. Selain itu, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor terus membina operasional TPS 3R yang kini sudah berjumlah 29 unit. Seluruhnya telah berperan membantu menangani sampah skala lingkungan. Termasuk mengelola sampah organik dan non organik.
Begitu pula dengan keberadaan bank-bank sampah yang terus didorong aktif di lingkungan RT dan RW. Lembaga ini adalah lembaga mandiri masyarakat yang berupaya mengumpulkan sampah bukan organik yang terdiri dari jenis logam, plastik, kertas dan kaca. Kini jumlahnya sudah mencapai sekitar 360 unit. Untuk membantu upaya bank-bank sampah, telah didirikan pula bank sampah induk yang berlokasi di lingkungan kantor DLHK Kota Bogor di Jalan Paledang.
Itulah unit yang menampung setoran sampah non organik dari bank-bank sampah dalam jumlah rata-rata sekitar 1,5 ton per hari. Selain itu, DLHK Kota Bogor saat ini juga sedang bekerjasama dengan WWF untuk menangani sampah-sampah plastik yang terbuang dan belum terjaring oleh TPS 3R maupun bank sampah.
Selain ada pihak yang terus berupaya mengurangi timbulan sampah plastik. Di pihak lain juga ada pihak yang terus berupaya memanfaatkan sampah plastik dalam proses daur ulang. Mereka adalah perusahaan-perusahaan pengelola produk daur ulang sampah plastik. Kebutuhan mereka cukup besar. Ada yang membutuhkan 2-5 ton per hari. Bahkan konon ada pula yang memerlukan sekitar 100 ton per hari. Tetapi kebutuhan tersebut relatif tidak mudah dipenuhi.
Dalam pandangan Kepala Bidang Tata Lingkungan DLHK Kota Bogor, Setiawati, sulitnya memenuhi kebutuhan sampah plastik, lebih diakibatkan sistem pemilahan sampah yang masih perlu terus dibenahi. “Banyak masyarakat yang belum terbiasa memilah sampah organik dan non organik di rumah masing-masing,” ungkapnya. Padahal kalau sudah biasa dipisah di hulunya, lebih mudah sampah plastik diperoleh.
Oleh karena itu pihaknya terus melakukan sosialisasi, mengajak masyarakat terbiasa memilah sampah. Tidak hanya di lingkungan warga – sampai kemudian terbentuk bank-bank sampah – melainkan juga di unit-unit kerja di lingkungan Pemerintah Kota Bogor. Mereka yang sudah menyadari dan memahami nilai ekonomis sampah, saat ini memang sudah bergerak mengelola sampah dengan memilah jenis sampah. Bahkan mencari sampah dan mengambil banyak manfaat darinya.
TPST 3R Perumahan Mutiara Bogor Raya, Katulampa, menjadi salah satu pihak yang telah membuktikan hal tersebut. Saat ini mereka menampung dan mengelola sampah yang berasal dari 900 rumah warga di 3 RW. Setiap hari rata-rata mereka menjemput 1,2 ton sampah rumah tangga, kemudian mengelolanya di TPS yang berlokasi di kawasan perumahan tersebut.
Pengelolaan dimulai dengan memilah sampah organik dan bukan organik. Dari hasil pemilihan, rata-rata ada sekitar 700 kg sampah organik, 300 kg sampah bukan organik bernilai ekonomis dan 200 kg sampah bukan organik yang tidak bernilai ekonomis. “Itulah yang kami sebut residu dan kami serahkan pengelolaannya ke TPA,” ungkap Sulis, salah seorang pengurus dan penggerak TPST 3R MBR. Proses pengelolaan melibatkan belasan tenaga kerja yang digaji pengurus.
Sampah organik, terutama sisa makanan, sayuran dan buah-buahan seterusnya dimanfaatkan menjadi bahan pakan magot. Jenis seperti dedaunan dan ranting pohon dimanfaatkan menjadi bahan kompos, “Karena untuk menjadi kompos yang layak sebagai pupuk, kami menyetorkannya ke produsen pupuk kompos,” lanjut Sulis,
Sedangkan sampah bukan organik, termasuk plastik, dihimpun untuk kemudian mereka jual ke pengepul. Diantaranya seperti kardus, kertas, besi rongsok dan plastik bekas gelas minuman kemasan bening yang harganya tergolong tinggi. Menurut Sulis harga gelas air minum kemasan bekas, bisa mencapai kisaran 10-13 ribu rupiah per kilo. Bahkan ada yang nilainya termasuk mahal, yaitu botol bekas parfum sekitar Rp 75,- ribu per botol, botol bekas bir Rp 25,- ribu per botol dan compack disk Rp 5,- ribu per keping
Tidak semua jenis plastik bernilai ekonomis dan bisa dijual ke pengepul. Itulah plastik bekas kemasan detergen, minyak, kecap, kopi dan sejenisnya. Jenis sampah plastik itulah yang tergolong sebagai residu, termasuk juga sampah seperti styrefoam, pampers, sachet minuman. Belakangan muncul jesnis sampah residu baru, yaitu pasir kotoran anjing atau kucing peliharaan. “Jumlahnya cenderung semakin banyak, bisa satu karung per hari,” kata Sulis.
Adanya jenis-jenis sampah plastik yang tidak bernilai ekonomi, menurut Sulis menjadi sebuah masalah. “Kedepan kita memerlukan inovasi teknologi yang bisa menjadikan sampah plastik jenis seperti itu untuk bisa dimanfaatkan,” lanjut Sulis. Itulah sebuah harapan yang bisa menjadi sebuah solusi untuk menjadikan setiap jenis sampah plastik bisa didaur ulang atau dimusnahkan. (Advertorial)