BOGOR – Koperasi adalah wadah bagi sekelompok orang yang memiliki tujuan merubah mindset diri menjadi pribadi yang mandiri dan berdikari secara ekonomi.
Dalam azas koperasi, tertanam adanya nilai gotong royong, bukan tanggung renteng.
Gotong royong dan tanggung renteng, memiliki dasar teori yang hampir sama, akan tetapi tidak sama bahkan tidak sesuai dengan prakteknya.
Azas koperasi yang digagas Bung Hatta lebih menjungjung tinggi azas kekeluargaan.
Dikatakan Ketua Koperasi Serba Usaha (KSU) Karya Mandiri, Atty Somaddikarya, salah satu contoh gotong royong di koperasi yakni adanya pinjaman macet lantaran keadaan yang tidak memungkinkan akan dihibahkan dengan syarat ketentuan yang berlaku atas kebijakan dan keputusan di Rapat Anggota Tahunan (RAT).
“Kemacetan pembayaran yang terjadi menjadi tanggungjawab koperasi karena ada Sisa Hasil Usaha (SHU). Untuk itu, tidak ada cerita anggota yang macet dalam hal pembayaran dikenakan denda dn sanksi ,” jelasnya.
“Apalagi dipaksa untuk membayar dan ditagih dengan cara-cara yang tidak manusiawi, dan menarik sebuah barang yang sebagai jaminan atas pinjaman,” tambah dia.
Sementara itu, kata Atty koperasi memiliki konsep mensejahterahkan bukan malah sebaliknya yang akhirnya menyulitkan anggotanya.
“Selain itu, memberikan edukasi untuk menggeser budaya meminjam terlebih pada pinjaman yang instan, bahayanya meminjam pada rentenir, pinjaman online yang abal-abal dengan bunga yang tinggi, hal ini hanya menjerat dan membuat masyarakat miskin semakin miskin, bahkan lahirnya masyarakat miskin baru,” pekik Atty.
lebih lanjut kata Atty, edukasi yang gencar pada masyarakat terus dilakukan, koperasi memberikan pemahaman pada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) untuk memulai kebiasaan menabung menjadi sebuah budaya.
“Jadi, ketika anggota mengajukan pinjaman sebagai hak anggota di koperasi harus punya niat yang baik untuk mengembalikan kewajibannya atas hak yang diterima, karena apa? Hak yang ia terima bersumber dari tabungan anggota,” kata Atty.
Menurutnya, sistem tanggung renteng yang saat ini marak di masyarakat khususnya di provinsi Jawa Barat, dengan modus pinjaman ‘berkedok’ modal usaha bagi kaum pelaku usaha dengan konsep membentuk kelompok masyarakat (pokmas) dianggap tidak mengedukasi.
“Mereka kumpulkan warga terdiri dari 5 sampai 10 orang dalam satu kelompok, ketika salah satu anggota pokmas mengajukan pinjaman modal usaha dan terjadi kemacetan akan ditanggung oleh anggota yg lain. Konsep pinjaman ini belum jelas apakah memakai konsep koperasi atau bendera lembaga keuangan yang berbadan hukum,” jelasnya.
“Jika konsep yang marak terjadi memakai bendera koperasi sangat tidak diharapkan oleh pendiri koperasi Indonesia. Sebab apa? ini lebih condong pada konsep komersil yang mengedepankan keutungan yang besar yang menjerat kaum marhaen dengan bunga tinggi,” beber Atty.
Dia menilai bunga yang ditentukan berkisar di angka 20-25% pertahun. Atty menyebut, jika dengan tajuk modal usaha, pada kemyataannya tidak 100% menyasar pada pelaku di daerah. “Malah kucuran pinjaman tersebut turun kepada ibu rumah tangga yang belum jelas sumber penghasilannya,” ujar dia.
Praktek seperti ini, sambung dia, akan memperburuk citra koperasi jika memakai bendera koperasi. “Yang lebih parah saat ini banyaknya koperasi umum yang mati suri di berbagai daerah di Indonesia, ditambah banyaknya koperasi yang gagal bayar dan koperasi bodong yang luput dari sorotan pemerintah, pada akhirnya dampak dari arus tersebut merugikan masyarakat yang turut menjadi anggotanya,” cetus Atty.
Ia menjelaskan, koperasi yang sehat mampu menciptakan lapangan pekerjaan pada kaum perempuan melalui pelatihan hingga pemberian modal usaha tanpa bunga. “Seharusnya mensejahterakan, sekarang yang ada dan membuat saya sangat prihatin adalah perempuan ibu rumah tangga menjadi korban atas penawaran yang menggiurkan dari orang-orang yang sudah dilatih sebagai marketing yang ditarget satu lembaga atau perusahaan,” beber dia.
“Mereka yang terlatih blusukan masuk wilayah-wilayah kaum marhaen, ini praktek jeruk makan jeruk yang akan menggeser azas koperasi yang seharusnya hadir dan ada untuk kesejahteraan malah membunuh secara perlahan keberadaan koperasi. Prinsip-prinsip untuk menjadi perempuan pandaringan khususnya di tatar sunda bukan terbangun malah tergerus oleh oknum-oknum perusak pola pikir,” pungkas Atty.