BOGOR – Anggota DPRD Kota Bogor, Atty Somaddikarya meradang saat mempertanyakan anggaran sarana prasarana (sarpras) kelurahan di dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2022
Menurutnya, ia hanya memastikan kesepakatan yang dihasilkan dalam rapat Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) sebelumnya.
“Dari duduk manis terus berdiri, selanjutnya jalan untuk sekedar konfirmasi dan memastikan anggaran sarpras kelurahan di RAPBD thn 2022 kepada Wali kota dn Wakil Wali kota Bogor sudah sesuai atau tidak dengan kesepakatan yang dibuat didalam rapat Badan anggaran dengan TAPD,” katanya.
“Dengan jawaban Sarpras 68 kelurahan sudah diakomodir di angka Rp.175juta perkelurahan, menurut sayajawaban orang No. 1 di Pemkot Bogor itu menjadi sebuah peryataan dan pegangan yang bisa dipercaya, namun pada kenyataan tidak terbukti adanya anggaran sarpras senilai tersebut.
Atty mengungkapkan dalam hal ini tidak menyalahkan sepenuhnya kepada. “Tapi saya mencurigai dan mengundikasi adanya unsur kesengajaan oleh oknum yang ada dalam lingkaran TAPD,” ungkapnya.
“Indikasinya dengan tujuan menjatuhkan reputasi Wali Kota Bogor agar mendapat cap atau stempel pembohong dan raja PHP sebagai Kepala Daerah,” ujar Atty.
Politisi PDI Perjuangan itu menyebut bahwa usulan sarpras kelurahan merupakan rekomendasi Komisi I DPRD Kota Bogor sebagai hasil akhir dari rapat kerja dengan 6 Camat se-Kota Bogor beberapa waktu belakangan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2018 Tentang Kecamatan tercantum pada pasal 30 ayat 7 yang mengharuskan diberikan paling sedikit 5% dari APBD setelah di kurangi Dana Alokasi Umum (DAU).
Sebagai Sekretaris Komisi I DPRD Kota Bogor ia mengaku kecewa sebab hak konstitusi sebagak anggota DPRD untuk menjalankan peran dan fungsi dalam anggaran yang pro kepada kepentingan masyarakat diabaikan.
Ceu Atty, sapaan akrabnya, menjelaskan anggaran sarpras untuk 68 kelurahan dn thn 2022 sangat minim. Ia menilai tidak adanya semangat bersama dalam memberikan pembangunan yang dibutuhkan masyarakat di wilayah pinggiran Kota Bogor.
“Berdasarkan suara rakyat dalam musyawarah kelurahan atau usulan kegiatan yang tidak terakomodir di musrembang di 68 kelurahan yang diusulkan oleh ketua RT hingga tokoh masyarakat. Selain itu, usulan kegiatan dan program pembangunan di pinggiran yang tidak realisasi secara optimal,” jelasnya.
“Saya khawatir musyawarah dintingkat kelurahan menjadi titik jenuh dan tidak ada hasil yang berdampak dan terbukti jika usulan masyarakat terwujud sesuai harapan di wilayah kelurahan,” tambah dia.
Masih kata Atty, jangan sampai musyawarah seperti musrembang hanya sebagai ajang seremoni untuk menggugurkan kewajiban atas amanah regulasi yang ada.
“Jika alasan yang dipakai dengan judul atas kamampuan keuangan daerah karena adanya pandem, kenapa harus ada silpa diantara kita dengan tembus diAngka Rp.300M pada tahun 2020 lalu,” kata Atty.
“Padahal, kita tahu pandemi covid-19 ada diawal tahun 2020 anggaran tidak terserap padahal kebutuhan masyarakat ditengah kondisi ekonomi semakin lemah tapi tidak ada gagasan dan upaya bagaimana ekonomi bisa bertahan,” terangnya.
Untuk menghindari angka silpa sebesar Rp. 300M sebaiknya Pemkot menjalankan amanah PP No.17, tahun 2018. “Jika benar keuangan daerah tidak mampu memberikan 5% setidaknya 1% nya di angka 230 juta perkelurahan dari APBD dimana tahhn 2022 dengan target senilak Rp 2.3T,” katanya.
Dirinya optimis dan memahami jika dilakukan dengan serius maka kepedulian sebagai pemerintah akan dapat memberikan anggaran sarpras untuk 68 kelurahan. “Sekalipun tidak mampu di angka 5% dan hanya mampu di angka 1% dari jumlah APBD,” kata Atty.
“Ya saya sendiri merasa lembaga DPRD yang memiliki fungsi budgeting sudah tidak dianggap apalagi diperhitungkan keberadaannya oleh TAPD yang dinahkodai Sekda Kota Bogor,” katanya.
Nilai Sarpras tersebut sebenarnya telah disepakati dan tercatat dalam dokumen notulensi Banggar, serta diperkuat dengan rapat Banmussebelum diparipurnakan dalam nota kesepakatan RAPBD 2022.
Ia berkeluh, proses perjuangan yang panjang hanya melahirkan pengkhianatan, dan hasilnya anggaran sarpras yang diperjuangkan minimal di angka 175juta nyatanya nihil.
“Terlebih hasil nihil di dua kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan Bogor Tengah, ada kegiatan pembangunan sarpras,” pungkasnya.