BOGOR – Bagian Hukum dan HAM Setda Bogor menjabarkan terkait penggunaan Peraturan Daerah tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) ataupun Peraturan Daerah (Perda) tentang Retribusi Perizinan Tertentu masih dapat dipergunakan.
Hal itu berkaitan adanya Surat Edaran Bersama (SEB) Empat menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tentang Percepatan Pelaksanaan Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung tanggal 25 Februari 2022.
Diketahui SEB empat menteri itu berisi 9 point terkait menetapkan secara resmi penggunaan Peraturan Daerah tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) ataupun Peraturan Daerah tentang Retribusi Perizinan Tertentu dapat dipergunakan, meskipun belum ada Peraturan Daerah Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
Hal tersebut disampaikan Kepala Bagian Hukum dan HAM Setda Kota Bogor, Alma Wiranta, menurutnya dengan adanya SEB tanggal 25 Februari 2022 yang membatalkan SE Mendagri tanggal 21 Oktober 2021, maka Perda Kota Bogor Nomor 6 Tahun 2012 tentang Retribusi Perizinan Tertentu dapat diterapkan kembali hingga 5 Januari 2024 atau pemberlakuan PBG diterapkan setelah disetujui dan disahkan oleh DPRD Kota Bogor tentang Perubahan Ketiga Perda Nomor 6 tahun 2012.
“Tentunya sebagai hierarki peraturan dapat dilaksanakan sesuai norma pembentukan Perundang-undangan, selanjutnya yang diamanatkan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja dapat segera diterbitkan turunan aturannya di daerah secara mumpuni,” ungkap Alma.
Alma menerangkan, dengan demikian dapat disimpulkan sampai saat ini, tidak ada paksaan bagi Pemkot Bogor untuk segera membentuk Perda IMB dengan nomenklatur PBG, sebagaimana yang diminta sebelumnya paling lambat 2 Maret 2022.
“Penerapan PBG yang menggantikan IMB berdasarkan ketentuan Pasal 347 Peraturan Pemerintah (PP) No.16/2021 menjadi persoalan baru beberapa waktu lalu karena Kota Bogor belum merevisi Perda Nomor 6/2012, inilah justru menjadi penghambat proses perizinan yang telah banyak diajukan pemohon kepada Pemkot Bogor,” terang Alma.
Alma memaparkan, teknisnya saat pemohon perizinan melalui aplikasi SMART tidak dapat diterima karena adanya kebijakan OSS pusat yang tidak terintegrasi dengan penerbitan SIMBG, justru ini tidak sejalan dengan maksud dibentuknya UU Cipta Kerja yang bertujuan mempermudah birokrasi.
“Langkah pemerintah pusat untuk menjembatani persoalan ini sebagai kebijakan yang tepat, kami mengharapkan regulasi yang ditetapkan tidak menjadi penghambat pembangunan, apalagi karena dengan kesimpangsiuran amanat PP 16/2021 tersebut Kota Bogor dapat kehilangan pendapatan dari retribusi tertentu khususnya dari persetujuan mendirikan bangunan,” paparnya.
“Upaya yang dilakukan Pemkot Bogor cukup maksimal terutama Wali Kota Bogor yang meminta diskresi kepada Pemerintah pusat untuk mengeluarkan izin bangunan, dan alhamdulillah sudah terjawab sekarang,” pungkasnya.