Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) Bima Arya menyampaikan pandangannya terkait dengan pengisian penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan ratusan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023.
Bima yang juga merupakan Wali Kota Bogor ini mengatakan, pengisian penjabat kepala daerah harus tetap menerapkan semangat demokrasi untuk menghindari muatan politis.
“Teman-teman APEKSI banyak membahas tentang potensi politisasi dan lain sebagainya. Kesimpulan kami adalah moral hazard itu berlaku untuk semua background. Kita harus meminimalisir ekses negatif yang bisa terjadi,” ungkap Bima Arya dalam sebuah diskusi di Menara Kompas, Jakarta, Selasa (10/5/2022).
Menurutnya, perlu ada aturan yang lebih rinci untuk memastikan bahwa penjabat harus dimandatkan mengawal program strategis agar terjadinya keberlanjutan program pembangunan pemerintah daerah. Pasalnya di beberapa daerah penjabat kepala daerah ada yang bisa menjabat sampai 2 tahun.
“Ini bukan sekedar menentukan suksesor. Adalah tugas pemimpin untuk memastikan bahwa gagasannya berlanjut. Bahwa kotanya itu suistan. Belum lagi diturunkan dalam RPJMD, RKPD, dan lain-lain. Kita punya tanggung jawab stunting, indeks pembangunan manusia berapa, BPJS bagaimana, meleset sedikit 1 tahun saja ini repot. Apalagi kalau tidak diperhatikan dalam waktu yang cukup lama, 2 tahun,” jelas Bima.
Karena itu, lanjut Bima, APEKSI mengusulkan beberapa hal, salah satunya mengenai proses seleksi.
“Ini penting terkait dengan kriteria siapa yang layak jadi penjabat. Selama ini simpang siur Sekda boleh atau tidak. Tadi saya kira kita respon positif pernyataan Pak Tjahjo bahwa Sekda dimungkinkan. Karena Sekda adalah pejabat yang paling senior, yang paling menguasai pemerintahan di daerah, saya kira punya legitimasi lebih kuat dan relatif dilatih untuk netral dalam politik,” ujar Bima.
“Usulan dari teman-teman APEKSI meminta agar Sekda harus betul-betul diperhitungkan dan direkomendasikan,” tambahnya.
Usulan lainnya, kata Bima, agar dibuka ruang konsultasi publik, tentunya dibuat rinci lagi konsultasi publik seperti apa. “Apakah cukup dengan DPRD, apakah dibuat ruang yang lebih luas kepada publik terkait dengan calon-calon yang ada. Kemudian Harus jelas juga. Penjabat boleh nyalon atau tidak. Bagus kalau dibuat saja tegas, penjabat dilarang untuk nyalon supaya tidak ada ruang untuk melakukan pengkondisian dan lain-lain,” tandasnya.
Lebih lanjut Bima menyebut bahwa penunjukan penjabat kepala daerah memiliki tantangan bagaimana memenuhi tiga dimensi kepemimpinan. Mulai dari legitimasi, pengetahuan dan skil politik.
“Pertama, dimensi legitimasi. Dukungan terbatas di parlemen, tergerus karena legitimasi mengecil dan sangat berpengaruh kepada efektivitas program pemerintahan. Kedua, ada knowledge tentang pemerintahan daerah, fiskal daerah, tata kelola pemerintahan, program mandatori, dan lain-lain. Ketiga, skill politik. Kemampuan untuk memobilisasi dukungan, formal atau informal,” terangnya.
“Jadi jangan ditafsirkan ini isu tentang kepemimpinan administratif. Tapi ini ada persoalan kapasitas kepemimpinan yang sangat tidak mudah” pungkas Bima.