Kolom Penulis

Partai Politik dan Isu Kebijakan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja

Argumentasi yang diajukan dalam tulisan ini menyatakan bahwa pelaksanaan rezim produksi di Indonesia khususnya selama mewabahnya pandemi Covid-19 telah mengalami banyak perubahan, terutama terkait dengan pengaturan dan penyesuaian terhadap operasional kerja yang kemudian melibatkan elemen pekerja, pengusaha dan pemerintah (negara). Hal itu tentunya tidak dapat dipisahkan dari penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilakukan oleh pemerintah baik di tingkat nasional maupun daerah sebagai upaya untuk menangani penyebaran pandemi Covid-19 di Indonesia. Akibatnya, hal tersebut membuat terjadinya pembatasan terhadap aktivitas masyarakat dan kemudian turut berdampak pada berbagai sektor, khususnya terkait dengan eksistensi rezim produksi/pabrik. Pasalnya, hal itu dikarenakan pemerintah hanya memberlakukan pengecualian terhadap sektor-sektor yang dianggap vital bagi kehidupan masyarakat untuk tetap dimungkinkan menjalankan operasionalnya, seperti sektor kesehatan, bahan pangan, makanan dan minuman, energi, komunikasi dan teknologi, keuangan, logistik, konstruksi, industri strategis, pelayanan dan utilitas publik, industri-industri yang ditetapkan sebagai objek vital nasional atau objek tertentu serta sektor swasta yang melayani kebutuhan sehari-hari masyarakat. Sedangkan, untuk sektor-sektor di luar itu kemudian diwajibkan untuk menghentikan sementara kegiatan operasionalnya sampai batas waktu yang ditentukan, yakni hingga diakhirinya pemberlakuan PSBB atau sampai ketentuan selanjutnya diinformasikan oleh pemerintah.

Tidak Menentunya Iklim Produksi

Lebih lanjut, konsekuensi dari berkembangnya kondisi tersebut kemudian tentunya juga turut membuat eksistensi rezim produksi di Indonesia menjadi kian tak menentu. Hal itu dikarenakan baik para buruh, pengusaha maupun pemerintah kemudian harus merasakan dampak dari kondisi tersebut. Kemudian, jika ditinjau dari kondisi para buruh, hal itu tentunya berdampak terhadap menurunnya laju produktivitas, tingkat penghasilan yang diperoleh, hingga risiko dilakukannya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh pengusaha. Hal itu sebagaimana juga tercantum dalam Laporan Kebijakan Moneter Kuartal I/2020 yang dirilis oleh Bank Indonesia pada akhir Mei 2020 bahwa penerapan kebijakan PSBB di sejumlah wilayah kemudian telah mengakibatkan pengurangan permintaan tenaga kerja. Bahkan, dalam konteks yang berlaku di beberapa kasus, para buruh kemudian harus merelakan penghasilannya dipotong secara sepihak oleh perusahaan sebagai konsekuensi dari dihentikannya operasional produksi pasca kebijakan PSBB diterapkan. Sedangkan, merujuk pada kondisi yang dialami oleh para pengusaha kemudian ditandai dengan adanya penurunan tingkat keuntungan (profit) dan pendapatan yang diperoleh, namun tidak diiringi dengan penurunan beban yang harus ditanggung, seperti upah para buruh, biaya-biaya operasional dan lain sebagainya. Hingga akhirnya, kondisi itu turut dijadikan sebagai justifikasi oleh para pengusaha untuk kemudian melakukan berbagai upaya efisiensi, seperti PHK terhadap para buruh, penunggakan pembayaran pajak dan lain sebagainya. Akibatnya, hal itu juga turut berdampak terhadap kondisi yang harus dihadapi oleh pemerintah, seperti meningkatnya angka pengangguran akibat PHK, merosotnya pertumbuhan ekonomi, meningkatnya beban pemberian subsidi, hingga dilakukannya realokasi anggaran untuk mengatasi dampak dari mewabahnya pandemi Covid-19 tersebut.

Kemudian, dalam menjelaskan prospek rezim produksi di Indonesia terutama apabila RUU omnibus law cipta kerja disahkan, setidaknya perlu dipahami terlebih dahulu mengenai sejauh mana posisi dari tiap stakeholders terkait beserta dampak yang dirasakannya. Adapun, selain RUU ombinus law cipta kerja, pemerintah juga mencanangkan kebijakan sejenis di beberapa sektor lainnya, seperti perpajakan dan pemberdayaan UMKM. Tujuannya adalah sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan deregulasi dan debirokrasi terhadap segala mekanisme atau hal yang dianggap menghambat jalur masuknya investasi di Indonesia. Meskipun demikian, hal tersebut justru menimbulkan kontroversi dalam masyarakat, karena dianggap hanya menjadi instrumen yang menguntungkan investor semata. Bahkan, di sisi lain, kebijakan tersebut juga dinilai akan merugikan sejumlah pihak karena turut diiringi dengan adanya perubahan pada sejumlah ketentuan dalam peraturan perundangan-undangan yang sudah berlaku sebelumnya. Hal tersebut kemudian salah satunya dapat dilihat dari posisi para buruh beserta serikat-serikatnya yang memandang bahwa sejumlah ketentuan dalam RUU omnibus law cipta kerja tersebut akan merugikan mereka di sejumlah aspek, seperti mengenai kontrak kerja (pasal 59 ayat 1), status outsourcing (pasal 66 ayat 1), perhitungan besaran upah berdasarkan satuan waktu (pasal 88b), status upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum sektoral (pasal 88c), mekanisme PHK (pasal 154a) dan lain sebagainya (lihat matriks di bawah ini). Selain itu, ketentuan-ketentuan dalam RUU omnibus law cipta kerja tersebut juga disinyalir cenderung menunjukkan posisi pemerintah yang seolah mendukung adanya praktik liberalisasi ekonomi yang akhirnya turut mengakibatkan berkurangnya sejumlah hak-hak fundamental milik buruh. Alhasil, hal itu semakin menguatkan kesan bahwa regulasi tersebut cenderung lebih “memihak” pada kepentingan investor ketimbang mewujudkan format hubungan industrial yang lebih ideal.

Respon Pengusaha Terhadap RUU Omnibus Law

Di samping itu, perspektif berbeda dalam memandang kebijakan RUU omnibus law cipta kerja tersebut kemudian dapat dilihat melalui posisi dan respon dari kalangan pengusaha. Hal ini salah satunya disampaikan oleh Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam yang menilai bahwa kebijakan omnibus law cipta kerja tersebut sangatlah dibutuhkan untuk memperbaiki kesejahteraan para pekerja. Bahkan, dirinya juga beranggapan bahwa melalui kebijakan tersebut, peluang investasi baru akan lebih terbuka dan akhirnya turut menyerap para pekerja baru. Meskipun demikian, perspektif lainnya kemudian turut disampaikan oleh ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani yang menganggap bahwa masalah utama dari kebijakan tersebut adalah terkait dengan upaya penciptaan dan penyerapan tenaga kerja. Hal itu dikarenakan persoalan yang lebih mendasar dari kebijakan tersebut adalah berkaitan dengan masih banyaknya masyarakat yang belum bekerja, ataupun sudah bekerja namun memperoleh pendapatan yang minim. Untuk itu, kalangan pengusaha kemudian tetap mendukung dilakukannya proses pembahasan terhadap kebijakan tersebut oleh pemerintah dan DPR sebagaimana dikemukakan oleh Rosan P. Roeslani selaku Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.

Adapun, kondisi tersebut di atas kemudian mencerminkan bahwa apabila RUU omnibus law cipta kerja tersebut disahkan, maka dampak yang akan terjadi kemudian akan menjadikan praktik eksploitasi terhadap buruh menjadi kian marak. Untuk itu, berbagai aksi penolakan yang disampaikan oleh para buruh terhadap kebijakan tersebut seolah mencerminkan adanya kesadaran untuk memperjuangkan hak-haknya dari potensi praktik eksploitasi yang dilakukan oleh para majikan di dalam proses kerja sebagaimana diungkapkan oleh Michael Burawoy. Dalam teori politics of production yang dicetuskannya, Burawoy kemudian mengungkapkan pentingnya upaya perjuangan dari tempat kerja yang dapat dilakukan oleh para pekerja di tengah pergulatan adanya hubungan dominasi yang terstruktur. Bagi Burawoy, seperangkat politik aspek produksi dan berbagai institusi yang membentuk dan mengatur perjuangan para pekerja di tempat kerjanya merupakan faktor penting dalam memahami dinamika dari proses kerja. Untuk itu, Burawoy kemudian mengenalkan konsep factory regime sebagai gambaran terhadap serangkaian pengaturan antara pekerja, pengusaha dan negara pada suatu waktu dan tempat. Dalam hal ini, Burawoy kemudian melakukan eksplorasi terhadap aspek historis dari factory regime, yang kemudian merujuk pada efek terhadap aspek politik dari setiap tipe rezim pabrik terhadap kelas pekerja. Adapun, tipe rezim pabrik yang diungkapkan oleh Burawoy diantaranya adalah despotisme pasar (market despotism), rezim hegemonik (hegemonic regime) serta despotisme hegemonik (hegemonic despotism). Konsep ini dikemukakan oleh Burawoy untuk kemudian melihat dua dimensi dalam teori politics of production, yakni efek politik dan ideologi dari upaya pengusaha untuk menyusun sistem pekerjaan serta melihat aparatur politik dan ideologi yang mengatur hubungan produksi di tempat kerja.

 

Penulis

Banu L. Bagaskara

Mahasiswa Pascasarjana FISIP UI

MK. Partai Politik dan Sistem Keterwakilan

Recent Posts

PLN Mobile Menyapa Warga Cempaka Putih

JAKARTA - Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan, PLN Unit Induk Distribusi (UID) Jakarta Raya mengadakan…

2 jam ago

Dihadiri Wapres Gibran, Upacara Hari Pahlawan Tanpa Kedip

Jakarta, 11 November 2024 – Dalam rangka mendukung kelancaran Upacara Hari Pahlawan yang dihadiri oleh…

2 jam ago

Sekda Pimpin Kick Off Penataan Gang Roda 3 dan 4 Suryakencana

Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bogor, Syarifah Sofiah, memimpin kick off penataan Gang Roda 3 dan…

2 hari ago

Menteri LH Dorong Penyusunan Roadmap Penanganan Sampah di Kalimantan Selatan

BANJARBARU – Menteri Lingkungan Hidup dan Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Hanif Faisol Nurofiq,…

2 hari ago

Peringati Hari Tanam Pohon BSILHK Gelar Edukasi Untuk Siswa di Bogor

BOGOR - Dalam rangka memperingati Hari Menanam Pohon Nasional dan Hari Dongeng Nasional, Badan Standardisasi…

2 hari ago

Ketua Bawaslu RI Pantau Pilkada Serentak di Bogor, Soroti Kendala Teknis dan Partisipasi Rendah

  BOGOR – Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja, memantau pelaksanaan Pemilihan…

2 hari ago

This website uses cookies.