Kepemimpinan dan regenerasi yang ada dalam tubuh Partai Demokrat sedang diuji oleh kondisi politik yang mencoba masuk dan menggantikan kubu yang berkuasa yaitu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), anak dari Mantan Presiden RI ke-6, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tidak berselang lama semenjak AHY terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat serta banyaknya pergantian kader di dalam batang tubuh partai menimbulkan konflik dan memunculkan kubu yang berseberangan untuk merebut pucuk kepemimpinan, di dalam kubu tersebut muncul mantan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat yang juga mantan Ketua DPR-RI periode tahun 2009-2014 serta para tokoh yang menyebut diri sebagai pendiri Partai Demokrat salah satunya Max Sopacua. Kubu tersebut memunculkan nama Kepala Staff Presiden (KSP) Moeldoko untuk mengambil alih kekuasaan AHY di Partai Demokrat.
Pengambilalihan kekuasaan di dalam tubuh partai politik merupakan hal yang lumrah terjadi di Indonesia maupun negara lain, terutama ketika ada perubahan di pucuk kepemimpinan. Di Indonesia misalnya, yang paling terekam oleh memori adalah Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrasi Indonesia atau PDI pada tahun 1993 di Surabaya yang baru saja melahirkan ketua umum baru yaitu ibu Megawati Soekarnoputri. Namun, terpilihnya Megawati saat itu menimbulkan kecemasan bagi rezim Orde Baru sehingga memunculkan kubu tandingan agar membatalkan status Megawati sebagai ketua umum. Muncul nama Suryadi sebagai ketua umum PDI dalam kongres di Medan pada Juni 1996. Kala itu, pemerintah Orde Baru hanya mengakui PDI versi Suryadi untuk bisa mengikuti pemilu tahun 1997. Dualisme yang terjadi berujung konflik dan kerusuhan, peristiwa tersebut dikenal dengan peristiwa Kudatuli. Setelah kejadian tersebut, legitimasi politik Megawati meningkat drastis. Setelah Orde Baru tumbang, Megawati akhirnya mendeklarasikan berdirinya PDI-Perjuangan.
Berdasarkan kejadian jejak historis dari proses metamorfosis PDI menjadi PDI-Perjuangan, dapat kita ketahui secara jelas adanya intervensi dari pemerintah untuk ikut campur dalam internal partai politik karena dianggap menjadi ancaman bagi pemerintah yang berkuasa. Hal ini juga menjadi menarik karena terjadi hal yang serupa bahkan lebih nampak secara nyata dikarenakan staff di bawah Presiden langsung yang terlibat dalam peristiwa kisruhnya internal Partai Demokrat. Apakah rezim berkuasa merasa ada ancaman dari figur di Partai Demokrat sehingga mencoba masuk ke dalam kepentingan internal partai tersebut? Atau hanya sekedar oknum yang mencoba masuk ke dalam internal partai demi kepentingan pribadi?
Seperti yang dituliskan oleh Ramlan Subekti, dalam dinamika kehidupan sosial dan politik pasti ada kepentingan yang berbeda-beda sehingga sudah jelas dan tidak dapat dihindarkan bahwa manusia akan berujung pada konflik ataupun kerjasama. Lebih lanjut lagi menurut Duverger, politik adalah gabungan dari dua aspek penting yaitu antagonis dan integrasi. Sehingga sudah pasti tumbuh pertentangan ketika ada celah sosok antagonis untuk masuk ke dalam sistem partai tersebut.
Kisruhnya Partai Demokrat dilanjut kepada gugatan kedua belah pihak untuk saling menguasai legitimasinya masing-masing di hadapan hukum negara. Kubu AHY selangkah lebih maju karena sudah mempersiapkan segala dokumen yang berkaitan dengan kemungkinan akan adanya sengketa, baik di Kemenkumham maupun di pengadilan. Lalu melakukan konsolidasi internal yang lebih solid, meski saat ini Partai Demokrat mengklaim internalnya dalam kondisi yang sangat solid. Kubu AHY juga menjalin hubungan dan komunikasi dengan pihak eksternal seperti yang selama ini sudah dilakukan oleh Partai Demokrat.
Penyelesaian konflik yang terjadi pada kejadian tersebut karena kedua kubu ingin membuktikan legitimasi dari masing-masing pucuk kepemimpinan. Legitimasi yang sah telah dimiliki oleh Kubu AHY karena kelengkapan berkasnya yang terlebih dahulu ada di Kemenkumham. Sedangkan Kubu KLB belum melengkapi berkasnya sehingga Kemenkumham secara resmi menolak Partai Demokrat hasil kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang.
Kejadian tersebut membuktikan bahwa seringnya pihak penguasa menginginkan kekuasaan yang sebesar-besarnya sehingga masuk dan melakukan intervensi ke dalam internal partai politik meskipun cara-cara yang dilakukan tidak terukur dan sistematis. Hubungan elit politisi dengan para bandar memungkinkan oknum untuk tampil dan masuk ke dalam perebutan kekuasaan.
Penulis:
Banu L. Bagaskara
Mahasiswa Pascasarjana FISIP UI
Ilmu Politik
MK. Partai Politik dan Sistem Keterwakilan
JAKARTA - Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan, PLN Unit Induk Distribusi (UID) Jakarta Raya mengadakan…
Jakarta, 11 November 2024 – Dalam rangka mendukung kelancaran Upacara Hari Pahlawan yang dihadiri oleh…
Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bogor, Syarifah Sofiah, memimpin kick off penataan Gang Roda 3 dan…
BANJARBARU – Menteri Lingkungan Hidup dan Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Hanif Faisol Nurofiq,…
BOGOR - Dalam rangka memperingati Hari Menanam Pohon Nasional dan Hari Dongeng Nasional, Badan Standardisasi…
BOGOR – Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja, memantau pelaksanaan Pemilihan…
This website uses cookies.