barayanews.co.id – Pandemi yang disebabkan oleh virus corona dan melanda pada hampir seluruh negara di dunia masih terus memberikan dampak kekacauan di segala lini sampai hari ini. Seperti dilansir dalam laman situs covid19.go.id dan kemkes.go.id, di Indonesia sendiri saat ini (30 Oktober 2020) tercatat jumlah kasus Covid-19 mencapai 406.945 orang, terhitung sejak diumumkannya kasus pertama pada 2 Maret 2020. Kasus Covid-19 Indonesia merupakan yang tertinggi di ASEAN.
Lebih mengejutkan lagi bahwa, kasus kematian karena Covid-19 di Indonesia tercatat berjumlah 13.701 orang dan memiliki rasio yang tinggi yaitu 3.4 persen, angka ini lebih tinggi dari rata-rata kasus kematian di dunia sebesar 2.63 persen. Penambahan kasus baru di Indonesia juga tergolong cepat yaitu lebih dari 3.000 pasien dalam sehari.
Sesungguhnya Indonesia memiliki kesempatan untuk mengantisipasi kasus tersebut ketika Covid-19 menyeruak pertama kali di China pada awal tahun 2020. Namun amat sangat disayangkan bahwa kala itu pemerintah masih menganggap remeh dan menertawakan apa yang terjadi tanpa menyiapkan kebijakan untuk kemungkinan terburuk seperti apa yang terjadi pada hari ini.
Merujuk akan hal itu, Dahl menyatakan bahwa kekuasaan adalah adanya kemampuan untuk memengaruhi seseorang maupun perilakunya dari satu pihak kepada pihak lain. Tentu yang memiliki kekuasaan adalah pemerintah. Pemerintah yang kala itu menggunakan kekuasaan untuk menganggap remeh covid-19 akhirnya memengaruhi masyarakat untuk ikut menertawakan aturan yang dibuat oleh pemerintah sehingga banyak terjadi pelanggaran protokol kesehatan hingga hari ini.
Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman, menyatakan bahwa banyaknya jumlah pertambahan kasus Covid-19 tidak selalu berkonotasi negatif, bahkan bisa saja sebaliknya. Virus corona memang memiliki tingkat penyebaran yang tinggi dan cepat, maka ketika dilakukan lakukan tes dan ditemukan banyaknya kasus yang terjadi menjadi suatu kewajaran karena mungkin saja sebelum tes banyak masyarakat yang sudah positif namun belum terdeteksi.
Dari banyaknya kasus yang terjadi ini, diharapkan pemerintah bisa langsung mengambil langkah penanganan cepat untuk mencegah laju penyebarannya dan mencegah angka kematiannya seperti melakukan isolasi dan karantina. Hal ini pula yang dirasa belum cukup efektif praktiknya di Indonesia. Kebijakan protokol kesehatan serta pembatasan sosial yang masih banyak dilanggar oleh masyarakat juga menjadi faktor terbesar penyebab lonjakan tingginya kasus kematian dan kasus penyebaran Coivd-19.
Jika dibandingkan dengan India, kasus kematian di negara tersebut masih lebih kecil dibandingkan di Indonesia meskipun India merupakan satu episentrum penyebaran Covid-19 di dunia dengan jumlah kasus 5,7 juta secara akumulatif. Dengan angka ini, India bahkan menjadi negara dengan jumlah kasus kedua terbanyak di dunia.
India secara masif melakukan tes spesimen untuk melacak penyebaran Covid-19, berdasarkan situs Worldometer tercatat bahwa 67 juta tes sudah dilakukan. India menargetkan 1 juta pemeriksaan perhari, mengingat jumlah penduduk di sana mencapai lebih dari 1,3 miliar. Dalam hal ini, India dan Indonesia bisa dianggap sama-sama sebagai negara yang memiliki populasi yang sangat padat. Sebagai dampak tingginya pemeriksaan di India, lonkan kasus Covid-19 mengalami kenaikan yang signifikan, artinya deteksi untuk kasus Covid-19 itu sendiri mulai terlihat.
Jumlah pemeriksaan yang dilakukan Indonesia masih jauh tertinggal daripada India yaitu sebanyak 1.799.563, selisih yang cukup signifikan mengingat Indonesia memiliki populasi 267,7 juta penduduk. Jika pemeriksaan yang dilakukan ditingkatkan oleh pemerintah, bukan hal yang mustahil jika lonjakan kasus Covid-19 terjadi seperti di India.
Namun yang menarik, terdapat perbedaan yang signifikan untuk harga test PCR atau swab di Indonesia dan India. Seperti diungkapkan Mantan Direktur Penyakit Menular WHO South-East Asia Region, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, bahwa biaya test PCR di India dilakukan dengan biaya Rp480 ribu. Sedangkan di Indonesia bisa mencapai Rp 1,3 juta, meskipun saat ini pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sudah menetapkan batas atas harga test PCR yaitu Rp900 ribu.
Adapun alasan utama mengapa terjadi perbedaan harga tersebut adalah karena semua bahan baku untuk mengadakan test PCR di India sudah ada, sedangkan di Indonesia masih impor bahkan dari India.
India dan Indonesia mengalami suatu kendala yang sama dalam penanganan kasus Covid-19, diantaranya adalah ketersediaan fasilitas kesehatan maupun ketidaksiapan rumah sakit menghadapi lonjakan kasus yang terjadi. Tenaga kesehatan di kedua negara sudah sangat kewalahan menghadapi kasus tersebut.
Mengenai kebijakan dalam memutus rantai penyebaran virus corona di Indonesia dan India pun banyak perbedaan. Diantaranya, pemerintah Indonesia lebih memilih untuk menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) daripada kebijakan lockdown seperti di India atau bahkan negara lain. Penerapan PSBB ini pun tidak dilakukan serentak secara nasional, melainkan berdasarkan permintaan wilayah masing-masing kepada pemerintah pusat.
Kebijakan lockdown secara nasional yang dilakukan oleh pemerintah India dianggap sebagai yang terbesar, namun nyatanya memberikan dampak yang sangat buruk bagi perekonomiannya, tercatat bahwa ekonomi di India merosot tajam hingga di angka minus 23.9 persen di Kuartal II-2020. Berbeda dengan ekonomi Indonesia, meskipun sama-sama mengalami kontraksi namun angkanya di Indonesia tercatat sebesar 5.32 persen. Angka yang tercatat sama-sama menjadi pukulan keras bagi kedua negara karena menjadi acuan bagi tingginya jumlah kemiskinan yang ada di negara.
Dampak dari kemorosotan yang terjadi ini diperkirakan akan mengakibatkan kesenjangan di berbagai sektor seperti layanan transportasi, perhotelan, rekreasi, dan kegiatan budaya.
Kebijakan pemulihan ekonomi nasional di Indonesia diambil oleh pemerintah melalui berbagai program bantuan seperti relaksasi serta restrukturisasi kredit, pemberian subsidi gaji bagi peserta BPJS Ketenagakerjaan, dan pemberian stimulus sebesar 2,4 juta bagi pelaku UMKM yang dianggap berperan besar bagi penambahan Produk Domestik Bruto (PDB) Negara dengan target penerima bantuan sebanyak 12 juta pelaku usaha. Hal ini dirasa cukup efektif dalam mengantisipasi dan mengurangi dampak dari ancaman Resesi yang sudah pasti akan terjadi di Kuartal III-2020 di Indonesia.
Bank Investasi ternama, Morgan Stanley, menyatakan kinerja ekspor Indonesia membaik seiring dengan meningkatnya permintaan. Konsumsi masyarakat semakin pulih akibat diberlakukannya berbagai kebijakan bantuan tunai.
Sedangkan di India, pemerintah juga memberikan stimulus ekonomi yang ditujukan kepada 86 juta petani miskin sebesar 6.000 rupee (80 dolar AS) setahun dan tabung gas untuk memasak gratis bagi 83 juta perempuan miskin hingga akhir september. Hal ini masih sangat jauh dampaknya bagi pemulihan ekonomi di India.
Dengan demikian, Indonesia dan India sebagai sesama negara dengan populasi penduduk yang padat dengan kebudayaan hampir mirip. Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia dan India banyak memiliki pendekatan yang berbeda. Setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah tentunya memiliki keunggulan dan kekurangan. Namun di balik itu semua, langkah yang diambil oleh pemerintah harus tepat dan cepat demi kepentingan masyarakat.
Banu L. Bagaskara
Mahasiswa Pascasarjana FISIP UI
MK Perbandingan Politik
JAKARTA - Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan, PLN Unit Induk Distribusi (UID) Jakarta Raya mengadakan…
Jakarta, 11 November 2024 – Dalam rangka mendukung kelancaran Upacara Hari Pahlawan yang dihadiri oleh…
Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bogor, Syarifah Sofiah, memimpin kick off penataan Gang Roda 3 dan…
BANJARBARU – Menteri Lingkungan Hidup dan Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Hanif Faisol Nurofiq,…
BOGOR - Dalam rangka memperingati Hari Menanam Pohon Nasional dan Hari Dongeng Nasional, Badan Standardisasi…
BOGOR – Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja, memantau pelaksanaan Pemilihan…
This website uses cookies.